Kamis, 07 Juli 2011

defenisi anemia dan penyebab serta penanganannya

Pendahuluan
Masalah gizi ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena berdampak pada perkembangan fisik, psikis, perilaku dan etos kerja seseorang. Anemia ini merupakan persoalan yang serius bagi bangsa Indonesia karena bisa berdampak pada siapa saja. Akibat lebih lanjut seperti disebutkan di atas adalah kelahiran bayi premature, kematian ibu saat melahirkan, penurunan tingkat intelegensi anak, hilangnya semangat dan motivasi belajar anak.
Ketidakcukupan tersebut terjadi karena beberapa faktor antara lain; kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya persediaan zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi dan dapat juga karena kehilangan darah yang kronis. Faktor resiko terbanyak yang mudah terkena anemia besi adalah bayi, anak usia pra sekolah, remaja dan wanita usia subur terutama yang sedang mengandung bayinya. Namun tidak menutup kemuningkinan laki-laki dewasa pun mudah terkena bila tidak cukup mengkonsumsi zat besi ini.
Sebenarnya penanganannya relative mudah dengan mengkonsumsi zat besi yang cukup namun faktanya banyak anemia yang tidak terobayi sampai lanjut.

Pengertian
 Anemia secara mudah dapat dikatakan adalah seseorang dengan keadaan kadar hemoglobin dalam darah kurang dari yang seharusnya. Anemia dapat dikatakan juga bilamana ukuran dan jumlah eritrosit dalam hemoglobin kurang dari normal. Berikut ini batas normal Hemoglobin seseorang yang dihitung berdasarkan umur dan jenis kelamin.


Anemia yang terjadi pada seseorang lebih banyak disebabkan karena karena efek samping dari keadaan penyakit tertentu atau suatu keadaan patologis. Seperti karena penyakit malaria, cacing tambang dan infeksi-infeksi yang lain yang banyak terjadi khusunya di negara tropis. Biasanya semakin rendah kadar Hb maka dapat dikatakan bahwa anemia yang terjadi semakin berat dan perlu penanganan segera. Anemia defisensi zat besi lebih banyak terjadi di negar berkembang daripada negara maju atau industri. Prevalensi yang tertinggi terjadi di negara Afrika dan Asia Selatan.

Penyebab Anemia
Secara umum penyebab utama terjadinya anemia zat besi adalah akibat defisiensi zat besi. Hal ini merupakan penyebab utama anemia pada seseorang dibandingkan defisiensi zat gizi lain, seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin, dan trace element lainnya. Berikut ini mwerupakan faktor secara umum penyebab anemia gizi pada seseorang, yaitu:

1. Banyaknya kehilangan darah

Kehilangan darah dalam hal ini biasanya disebabkan oleh karena kecelakaan yang mengakibatkan kehilangan banyak darah. Selain itu dapat juga yang disebabkan karena perdarahan kronis yang terjadi sedikit demi sedikit tapi terus menerus seperti pada kanker saluran pencernaan, peptic ulser maupun ambeien.
Tak kalah pentingnya penyebab kehilangan darah ini karena cacing tambang yang masih banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Dan yang terakhir adalah yang terjadi pada remaja putrid dan wanita dewasa yaitu datangnya haid yang terjadi tiap bulan sekali.

2. Kerusakan sel darah merah

Kerusakan berlangsung di dalam pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti malaria dan thalasemia, yang dikatakan sebagi anemia hemolitik. Pada kejadian ini sel darah merah telah rusak namun zat besi yang ada di dalamnya tidak ikut rusak dan tetap bisa digunakan untuk membuat sel-sel darah merah yang baru. Untuk kasus ini perlu adanya penambahan asam folat karena asam folat yang ada dalam sel darah merah telah rusak.

3. Minimnya produksi sel darah merah

Pembuatan sel merah ini akan terganggun bila konsumsi seseorang tentang zat besi tidak mencykup kandungan zat besinya. Hal ini dapat disebabkan karena konsumsi makanan kurang mengandung zat gizi yang penting seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, protein dan zat gizi penting lainnya. Selain itu dapat juga disebabkan oleh tidak berfungsinya pencernaan dengan baik sehingga mengganggu penyerapan makanan.

Kebutuhan zat besi dalam tubuh
Kebutuhan zat besi pada seseorang sangat tergantung pada usia dan jenis kelamin. Khususnya pada wanita subur (wanita hamil), bayi dan anak-anak lebih beresiko untuk untuk menglami anemia zat besi daripada orang lain.
Kebutuhan zat besi pada wanita lebih banyak daripada laki-laki karena mereka mengalami menstruasi yang datang bulanan. Namun demikian wanita mmpu mengabsorpsi zat besi lebih efisien asalkan makanan lainnya cukup beragam seperti daging, ikan dan sumber vitamin C.
Kekurangan zat besi pada seseorang akan diambilkan dari zat besi cadangan yang ada dalam tubuh namun jika cadangan ini terus menurun maka maka tubuh akan mengalami kekuarangan zat besi yang berlarut –larut dan perlu penanganan segera. Kehilalangan zat besi dapat terjadi karena:

1. Kehilangan besi basal
Kehilangan yang terjadi ini berlangsung tiap hari dan dapat berasal dari keringat, urine, saluran pencernaan dan empedu. Pada laki-laki kehilangan besi basalnya lebih besar disbanding wanita karena memilki leuas permukaan tubuh yang lebih kecil.

2. Kehilangan zat besi karena menstruasi
Semakin banyak jumlah menstruasi pada seorang wanita maka jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Kehilangan darah ini berbeda-beda untuk tiap orang yang sanfat tergantung pada keturunan, dan besar tubuh.
Faktor lainnya adalah jenis penggunaan alat kontrasepsi yang digunakan seperti IUD akan lebih benyak kehilangan darah dibandingkan dengan pemakaian kontraspesi oral.

Kebutuhan tubuh pada wanita hamil lebih banyak karena selain untuk memenuhi kebutuhan besi basal juga untuk memnuhi kebutuhna plasenta serta janin yang dikandungnya. Dengan semakin bertambahnya umur kehamilan maka kebutuhan zat besi juga semakin meningkat.

Kebutuhan zat besi pada setiap trimester berbeda-beda. Pada awal kehamilan kebutuhan zat besi masih normal bahkan lebih rendah karena tidak mengalami menstruasi dan janin belum membutuhkan banyak zat besi. Pada trimester kedua kebutuhan zat besi meningkat dan akan lebih meningkat lagi pada trimester ketiga seiring bertambahnya kebutuhan zat besi untuk janin yang dikandungnya. Kebutuhan zat besi tersebut tidak dapat dipernuhi hanya dari makanan yang dikonsumsi saja tetapi juga harus ditambahkan dari luar yaitu melalui suplemen tablet besi .

Berbagai pantangan yang diisukan turun menurun kadang dapat memperburuk kondisi ibu hamil. Pantangan-pantangan tersebut antara lain: wanita hamil dilarang makan daging, ikan, hati atau atau makanan lainnya dengan alasan yang tidak mendasar.
Pada wanita menyusui kadar zat besi dalam ASI sebesar 0,5 mg/l dan setelah 4-6 bulan akan turun menjadi 0,3 mg/l. Walaupun demikian cukup rendah masih diimbangi dengan bioavalabilitas yang tinggi. Semakin bertambah usianya maka absorpsi akan semakin bertambah. Selama menyusui kehilangan zat besi tidak begitu banyak namun demikian masih dilaporkan kekurangan zat besi menyusui khususnya neghara berkembang.
Pada bayi, dapat mengabsoprsi lebih banyak zat besi yang ada dalam ASI sedangkan kalau dalam susu sapi hanya antara 10 – 12 %. Namun demikian bayi yang telah berumur lebih dari 4-6 bulan masih harus mendapatkan tambahan zat besi karena sudah tidak cukupnya kandungan zat besi tersebut.

Makanan tambahan untuk bayi juga harus memnuhi kabutuhan zat besinya karena ASI dan susu formula tidak lagi menyediakan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu juga harus cukup mengandung vitamin C yang membantu penyerapan zat besi.
Kekurangan zat besi selain pada bayi juga cukup rawan untuk balita. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh karena konsumsi makanan anak yang kurang dari yang seharusnya mereka konsumsi. Selain karena pada usia tersebut anak-anak juga cukup rawan karena mudah terinfeksi penyakit cacing tambang. Hal ini mudah terjadi pada anak-anak yang tidak senang menggunakan alas kaki. Faktor lain yang cukup berpengaruh adalah kuatnya budaya di negara kita dimana keluarga lebih senang menyediakan konsumsi makanan hewani dengan memprioritaskan pada bapaknya setelah itu anak baru kemudian ibunya.

Jenis dan penyerapan zat besi
Zat besi yang berada dalam makanan terdiri dari 2 jenis yaitu jenis hem dan bukan hem. Zat besi hem merupakan pembentuk hemoglobin dan mioglobin, terbanyak terdapat pada daging, ikan dan unggas serta olahan darah. Sedangkan jenis makanan yang bukan hem terdapat makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Selain hal tersebut zat besi juga banyak terdapat pada makanan yang berasal dari eksogen yaitu berupa debu, tanah, air ataupun panic tempat memasak. Bentuk lainnya tyang berasal dari eksogen terdapat dalam makanan seperti gandum, gula dan garam yang telah difortifikasi dengan zat besi. Berikut ini kami sajikan kandungan zat besi yang terdapat pada beberapa makanan.

zat besi fortifikasi Terdapat pada daging, ikan, unggas, dan olahan darah
Terdapat pada biji-bijian, umbi-umbian, sayuran dan kacang-kacangan
Tanah, debu, air, panci besi dll
Berbagai campuran zat besi yang ditambahkan pada makanan tertentu. Persediaan sangat tergantung dari komposisi makanan tersebut
Penyerapan zat besi yang terkandung dalam makanan dipengaruhi oleh jumlah dan zat kimianya serta factor-faktor lain yang membantu dan menghambat penyerapan. Selain hal tersebut faktor lainnya adalah kondisi kesehatan dan dan status zat besi orang tersebut. Berikut ini tabel mengenai faktor yang menentukan penyerapan zat besi

Pencegahan anemia defisiensi zat besi
Ada beberapa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencegah atau mengurangi terhadap kejadian kekurangan zat besi, usaha-usaha yang dilakukan tersebut antara lain:

1. Pemberian suplemen tablet besi
Pemberian tablet zat besi digunakan untuk memperbaiki status kondisi zat besi seseorang secara cepat. Dalam pemberian tablet ini memperhatikan beberapa strategi sesuai dengan kelompok yang telah ditargetkan. Penentuan target ini mempertimbangkan resiko yang dapat terjadi bila anemia terjadi pada sesorang. Kelompok yang digolongkan rawan untuk diprioritaskan menjadi target adalah:
- ibu hamil
- anak pra sekolah
- anak sekolah
- bayi

2. Modifikasi makanan
Pencegahan ini dilakukan dengan memastikan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh sesorang. Hal ini sangat terkait dengan kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh seseorang atau masyarakat. Bila ditelusuri leboih hal inipun sangat terkait dengan kondisi social ekonomi masyarakat kita dimana daya beli masyarakat yang rendah sehingga memperburuk kondisi kesehatan khususnya kekurangan zat besi.

Selain hal tersebut juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana agar makan yang kita makan tersebut bersama-sama kita konsusmi dengan makanan yang membentu penyerapan zat makanan tersebut. Dalam hal ini bila kita mengkonsumsi makanan yang cukup zat besi tetapi bila banyak faktor penghambatnya maka penyerapan makanan lebih sedikit dari yang seharusnya kita dapatkan.

3. Pengawasan penyakit infeksi
Pengobatan penyakit infeksi dan penyakit karena virus sedikit banyak membantu mengurangi kekurangan zat besi. Dengan pengobatan yang tepat dapat mengurangi lama dan beratnya infeksi sehingga tidak memperparah kondisi kekuarang zat besi. Dalam hal ini keluarga perlu diberikan infomasi yang sebaik-baiknya mengenai pentingnya konsumsi makanan bila ada anggota keluarga yang sakit ataupun memberikan dorongan kepada ibu yang menyusui agar terus memberikan ASInya untuk mencegah penyakit infeksi.

4. Fortifikasi makanan
Fortifikasi zat atau penambahan zat besi ke dalam makanan yang di konsumsi secara umum oleh masyarakat mrupakan tulang punggung pada beberapa negara. Hal ini sangat efektif untuk membantu mengatasi kekuarang zat besi yang banyak terjadi di masyarakat. Kebijakan ini diambil tetnunya dengan didasarkan kepada perundang-undangan, dan keputusan yang kuat sehingga semuanya dapat mematuhinya dengan baik khsususnya bagi konsumen.

Minggu, 03 Juli 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)

Keperawatan dewasa ii
Asuhan Keperawatan pada Pasien BPH





OLEH:: kelompok 9

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2011

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
BENIGNA HIPERTROPI PROSTAT (BPH)
Konsep Dasar BPH

A. Definisi

Pengertian Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994:193).
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter.
Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. Etiologi
Etiologi atau penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin.

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain:

1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.

2. Ketidakseimbangan estrogen – testoteronDengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.

3. Interaksi stroma - epitel Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.

4. Penurunan sel yang matiEstrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem cellSel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.(Roger Kirby, 1994:38).

Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:

1. Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.

2. Ketidakseimbangan endokrin.

3. Faktor umur / usia lanjut.


C. Anatomi fisiologi

Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:

• Panjang 3.4 cm
• Lebar 4.4 cm
• Tebal 2.6 cm.

Secara embriologis terdiro dari 5 lobus:
• Lobus medius 1 buah
• Lobus anterior 1 buah
• Lobus posterior 1 buah
• Lobus lateral 2 buah
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:

1. Kapsul anatomis

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
• Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
• Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone
• Di sekitar uretra disebut periuretral gland

Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.

Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.
D. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar.

Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa: Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Fase-fase Prostat Hyperplasia:

1. Prostat Hyperplasia Kompensata.
kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah.

2. Prostat Hyperplasia Dekompensata
Kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga urine tersisa di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir. Seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine.

Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)


F. Manifestasi klinis

Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih
2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:
1. Retensi urin.
2. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
3. Miksi yang tidak puas
4. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)
5. Pada malam hari miksi harus mengejan
6. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)
7. Massa pada abdomen bagian bawah
8. Hematuria
9. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)
10. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
11. Kolik renal
12. Berat badan turun
13. Anemia

Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.
Gejala Benigne Prostat Hyperplasia Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

1. Gejala Obstruktif yaitu:
• Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
• Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
• Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
• Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
• Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala Iritasi yaitu:
• Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
• Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
• Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat Benigne Prostat Hyperplasia Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya:

1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat +20 gram.

2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya +20 – 40 gram.

3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.

4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

G. Pemeriksaan diagnostik

Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:

1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin

2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).

3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.

4. Prostatektomi ParinealYaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.


H. Komplikasi

1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi
3. Hernia / hemoroid
4. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
5. Hematuriaf. Sistitis dan Pielonefritis

Asuhan Keperawatan
A. Fokus pengkajian
Data yang didapatkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi

1. Data subyektif:
• Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
• Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
• Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
• Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.

2. Data Obyektif:
• Terdapat luka insisi
• Takikardi
• Gelisah
• Tekanan darah meningkat
• Ekspresi wajah ketakutan
• Terpasang kateter

Pengkajian Riwayat Keperawatan
• umur > 60 tahun
• Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
• Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
• BPH → hematuri


Pemeriksaan Fisik

1. Abdomen: Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.

2. Kandung kemih
• Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik → retensi urine
• Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil → retensi urine
• Perkusi : Redup → residual urine

3. Pemeriksaan penis: uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.

4. Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) → posisi knee chest, syarat: buli-buli kosong/dikosongkan. Tujuan: Menentukan konsistensi prostat dan besar prostat.

Pemeriksaan Radiologi digunakan untuk
1. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
2. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
3. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak

Bentuk Pemeriksaan Radiologia.
1. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis. Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter

2. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal

3. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.

4. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat jinak/ganas.

5. Pemeriksaan Endoskopi.

6. Pemeriksaan UroflowmetriBerperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buliQ max : > 15 ml/detik → non obstruksi10 - 15 ml/detik → border line< 10 ml/detik → obstruktif

Pemeriksaan Laboratorium

1. Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur) Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.

2. RFT → evaluasi fungsi renal

3. Serum Acid Phosphatase → Prostat Malignancy.

B. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon

1. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan

Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan bahwa sakit yang diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya? Dan apa penyebab sakitnya saat ini?

2. Pola nutrisi dan metabolik

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

3. Pola eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.

4. Pola latihan- aktivitas

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.

5. Pola istirahat dan tidur

Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat?

6. Pola konsep diri dan persepsi diri

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

7. Pola kognitif- perseptual

klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, bagaimana status neurologis klien, apakah ada gangguan?

8. Pola peran dan hubungan

Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran selama klien sakit?

9. Pola reproduksi- seksual

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

10. Pola pertahanan diri dan toleransi stres

Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien menghadapi masalah yang dialami? Apakah klien menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya?

11. Pola keyakinan dan nilai

Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan?


C. Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
NANDA NOC NIC

1. Retensi Urin
Domain 3: Eliminasi dan Pertukaran
Kelas 1: Fungsi urin

Defenisi: pengosongan urin yang tidak sempurna
Batasan karakteristik:
• Adanya urin yang keluar
• Distensi kantong kemih
• Disuria
• Frekuensi berkemih
• Inkontenensia yang berlebih
• Residu urin
• Sensasi dari penuhnya kantong kemih
• Urin yang keluar sedikit Hasil yang disarankan:

1. Gejala yang mencolok
Defenisi: keparahan perubahan yang merugikan yang dirasakan dalam fungsi fisik,emosi dan social
Indikator:
• Intensitas gejala
• Frekuensi gejala
• Persisten gejala
• Kerusakan mobilitas fisik
• Hubungan dengan kenyamanan
• Hubungan dengan istirahat
• Hubungan dengan takut
• Hubugan dengan cemas

2. Eliminasi urin
Defenisi: penumpukan dan perubahan urin
Indikator:
• Pola eliminasi
• Bau urin
• Jumlah urin
• Warna urin
• Intake cairan
• Kejernihan urin
• Pengosongan kandung kemih yang sempurna Intervensi yang disarankan

1. kateter urine
• Jelaskan prosedur dan rasional diberikannya intervensi
• Menyediakan peralatan kateter yang sesui standar
• Pertahankan teknik aseptic yang tepat
• Masukkan kateter retensi kedalam kandung kemih
• Gunakan ukuran kateter yang paling kecil
• Monitor intake dan output

2. Perawatan retensi urin
• Melakukan pengkajian urin secara komprehensif berfokus pada inkontenensia mis: pengeluaran urin, pola berkemih, fungsi kognitif dan masalah praeksisten urin
• Gunakan kateter urin
• Monitor masukan dan pengeluaran
• Menginstruksikan cara untuk menghindari konstipasi atau infeksi tinja
• Pantau penggunaan agen non preskripsi dengan sifat antikolinergik algonis atau alpha
• Gunakan teknik berkemih double
• Sediakan waktu cukup untuk pengosongan kandung kemih (10 mnt)

3. nyeri akut
domain 12: kenyamanan
kelas 1: kenyamanan fisik
defenisi: sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh kerusakan jaringan potensial atau actual/ gambaran pada bagian yang rusak tersebut. Tiba-tiba/ memperlambat intensitas dari ringan sampai berat dengan akhir diantisipasi /diprediksi berdurasi < 6 bulan

batasan karakteristik
• Perubahan nafsu makan
• Perubahan tekanan darah
• Perubahan curah jantung
• Perubahan laju pernafasan
• Diaporesis
• Laporan verbal terhadap nyeri
• Prilaku ekspresif, seperti gelisah, merintih, meringis, kewaspadaan, lekas marah, mendesah
• Menjaga prilaku Outcome yang disarankan
• Status kenyamanan: fisik
• Tingkat ketidaknyamanan
• Kontrol nyeri
• Tingkat nyeri
• Tingkat stress
• Tanda vital 1. Manajemen Nyeri
• melakukan tidakan yang komprehensif mulai dari lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frequensi, kualitas, intensitas, atau keratnya nyeri dan factor yang berhubungan.
• observasi isyarat ketidak nyamanan khususnya pada ketidak mamapuan mengkomunikasikan secara efektif.
• memberi perhatian perawatan analgesic pada pasien.
• menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk menyampaikan rasa sakit dan menyampaikan penerimaan dari respon pasien terhadap nyeri.
• mengeksplorasi pengetahuan pasien dan keyakinan tentang rasa sakit.
• mempertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri.
• menentukan dampak dari pengalaman rasa sakit dari pengalaman nyeri pada kualitas hidup (tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
• memberi tahu pasien tentang hal-hal yang dapat memperburuk nyeri
• kaji pengalaman nyeri klien dan keluarga, baik nyeri kronik atau yang menyebabkan ketidaknyamanan.
• ajarkan prinsip manajemen nyeri

2. Bantuan Kontrol analgesik pada pasien
• Berkolaborasi dengan dokter,pasien dan anggota keluarga untuk memilih tipe obat bius yang digunakan.
• ajarkan pasien dan keluarga untuk memonitor intensitas,kualitas,dan durasi nyeri.
• Hindari penggunaan hidroklorida meperidin
• Pastikan pasien tidak alergi terhadap analgesic yang diberikan.
• Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana menggunakan perangkat PCA
• bantu pasien dan keluarga untuk menghitung konsentrasi obat yang tepat untuk cairan, mengingat jumlah cairan yang dikirimkan per jam mel alui perangkat PCA


Diagnosa Keperawatan Post Operasi
NANDA NOC NIC
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan invasi MO
Domain 11 : Keamanan/Perlindungan
Kelas 1 : Infeksi
Definisi : Kenaikan resiko karena diserang oleh organisme penyakit.
Faktor Resiko
• Mendapatkan kekebalan yang tidak adekuat
• Pertahanan utama yang tidak adekuat (e.g., kerusakan kulit, jaringan yang luka, pengurangan dalam tindakan, perubahan pada sekresi PH, mengubah gerak peristaltic)
• Pertahanan kedua yang tidak adekuat (pengurangan hemoglobin, leucopenia, respon yang menekan sesuatu yang menyebabkan radang)
• Pertambahan pembukaan lingkungan pada pathogen
• Penekanan imun
• Prosedur yang bersifat menyerang
• Tidak cukupnya pengetahuan untuk menghindari pembukaan pada pathogen
• Malnutrisi
• Agen farmasi (ex: zat yang menghambat reaksi imun)
• Trauma/luka berat
• Destruksi jaringan Hasil yang disarankan:
• Integritas diameter jalan masuk.
• Konsekuensi keadaan yang tak bergerak : Fisiologi
• Status imun
• Kebiasaan imunisasi
• Pengetahuan : Kontrol infeksi
• Status nutrisi
• Kontrol resiko
• Kontrol resiko : Penyakit Seksual Menular (PSM)
• Deteksi resiko
• Integritas jaringan : Kulit dan selaput lendir
• Kebiasaan pengobatan : Sakit atau luka
• Penyembuhan luka: Tujuan utama
• Penyembuhan luka: Tujuan kedua

1. Kontrol infeksi
Definisi :Meminimalkan pendapatan dan transmisi dari infeksi.
Tindakan :
• Alokasikan dengan tepat kekakuan pasien dengan indikasi pedoman CDC.
• Bersihkan lingkungan sekitar setelah digunakan pasien.
• Ganti peralatan pengobatan pasien setiap protocol/ pemeriksaan.
• Batasi jumlah pengunjung/pembezuk.
• Ajarkan mencuci tangan untuk memperbaiki kesehatan pribadi.
• Ajarkan teknik mencuci tangan yang benar.
• Ajarkan pengunjung untuk mencuci tangan saat masuk dan meninggalkan kamar pasien.
• Gunakan sabun anti mikroba untuk mencuci tangan dengan benar.
• Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan pada pasien.
• Gunakan aturan umum.
• Gunakan sarung tangan sebagai pengaman yang umum.
• Gunakan sarung tangan yang bersih.
• Gosok kulit pasien dengan alat anti bakteri dengan tepat.
• Bersihkan dan siapkan tempat sebagai persiapan untuk prosedur infasi/pembedahan.
• Jaga lingkungan agar tetap steril selama insersi di tempat tidur.
• Jaga lingkungan agar tetap steril ketika mengganti saluran dan botol TPN.
• jaga kerahasiaan klien ketika melakukan pemeriksaan invasif
• Ganti peripheral IV dan balutan berdasarkan petunjuk CDC.
• Pastikan keadaan steril saat menangani IV.
• Pastikan teknik perawatan luka yang tepat.
• Gunakan kateter untuk mengurangi kejadian infeksi kandung kemih.
• Dorong/ajarkan cara nafas dalam dan batuk yang benar.
• Tingkatkan pemasukkan nutrisi yang tepat.
• Tingkatkan pemasukancairan yang tepat.
• Banyak istirahat.
• Lakukan terapi antibiotic yang tepat.
• Ajarkan pasienuntuk memakan antibiotic sesuai resep.
• Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya pada tim kesehatan.

2. Perlindungan terhadap infeksi
Definisi: Pencegahan dan pendeteksian dini pada pasien yang beresiko infeksi.
Tindakan :
• Memeriksa sistem dan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi.
• Mengontrol mudahnya terserang infeksi.
• Mengontrol jumlah granulosit, WBC, dan hasil yang berbeda.
• Mengikuti pencegahan dengan neutropenic.
• Membatasi jumlah pengunjung/pembezuk.
• Membersihkan pengunjung dari penyakit yang dapat menular.
• Menjaga kebersihan pasien yang beresiko.
• Melakukan teknik isolasi.
• Memberikan perawatan kulit yang tepat pada daerah edema.
• Melihat kondisi kulit dan membrane mukosa yang memerah, hangat dan mengelupas.
• Melihat kondisi luka bedah.
• Mendapatkan pemeliharaan sesuai kebutuhan.
• Meningkatkan kebutuhan nutrisi yang cukup.
• Mendorong pemasukan cairan.
• Meningkatkan istirahat.
• Mendorong pernafasan dalam dan batuk.
• Memberikan agen imunisasi.
• Menginstruksikan pasien menggunakan antibiotic sesuai resep.

4. nyeri akut
domain 12: kenyamanan
kelas 1: kenyamanan fisik
defenisi: sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh kerusakan jaringan potensial atau actual/ gambaran pada bagian yang rusak tersebut. Tiba-tiba/ memperlambat intensitas dari ringan sampai berat dengan akhir diantisipasi /diprediksi berdurasi < 6 bulan
batasan karakteristik
• Perubahan nafsu makan
• Perubahan tekanan darah
• Perubahan curah jantung
• Perubahan laju pernafasan
• Diaporesis
• Laporan verbal terhadap nyeri
• Prilaku ekspresif, seperti gelisah, merintih, meringis, kewaspadaan, lekas marah, mendesah
• Menjaga prilaku Outcome yang disarankan
• Status kenyamanan: fisik
• Tingkat ketidaknyamanan
• Kontrol nyeri
• Tingkat nyeri
• Tingkat stress
• Tanda vital 3. Manajemen Nyeri
• melakukan tidakan yang komprehensif mulai dari lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frequensi, kualitas, intensitas, atau keratnya nyeri dan factor yang berhubungan.
• observasi isyarat ketidak nyamanan khususnya pada ketidak mamapuan mengkomunikasikan secara efektif.
• memberi perhatian perawatan analgesic pada pasien.
• menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk menyampaikan rasa sakit dan menyampaikan penerimaan dari respon pasien terhadap nyeri.
• mengeksplorasi pengetahuan pasien dan keyakinan tentang rasa sakit.
• mempertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri.
• menentukan dampak dari pengalaman rasa sakit dari pengalaman nyeri pada kualitas hidup (tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
• memberi tahu pasien tentang hal-hal yang dapat memperburuk nyeri
• kaji pengalaman nyeri klien dan keluarga, baik nyeri kronik atau yang menyebabkan ketidaknyamanan.
• ajarkan prinsip manajemen nyeri

4. Bantuan Kontrol analgesik pada pasien
• Berkolaborasi dengan dokter,pasien dan anggota keluarga untuk memilih tipe obat bius yang digunakan.
• ajarkan pasien dan keluarga untuk memonitor intensitas,kualitas,dan durasi nyeri.
• Hindari penggunaan hidroklorida meperidin
• Pastikan pasien tidak alergi terhadap analgesic yang diberikan.
• Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana menggunakan perangkat PCA
bantu pasien dan keluarga untuk menghitung konsentrasi obat yang tepat untuk cairan, mengingat jumlah cairan yang dikirimkan per jam mel alui perangkat PCA

askep penyakit HIV- Melatikalimantan

Keperawatan dewasa ii
Asuhan Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS





OLEH:
Kelompok 9

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2011
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIV/AIDS
A. Konsep Dasar HIV/AIDS
Pengertian
AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency syndrome, merupakan sekumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV. Infeksi HIV disertai gejala infeksi yang oportunistik yang diakibatkan adanya penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan sistem imun. Sedangkan HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus.
Epidemiologi
Adanya infeksi menular seksual (IMS) yang lain (misal GO, klamidia), dapat meningkatkan risiko penularan HIV (2-5%). HIV menginfeksi sel-sel darah sistem imunitas tubuh sehingga semakin lama daya tahan tubuh menurun dan sering berakibat kematian. HIV akan mati dalam air mendidih/ panas kering (open) dengan suhu 56oC selama 10-20 menit. HIV juga tidak dapat hidup dalam darah yang kering lebih dari 1 jam, namun mampu bertahan hidup dalam darah yang tertinggal di spuit/ siring/ tabung suntik selama 4 minggu. Selain itu, HIV juga tidak tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti Nonoxynol-9, sodium klorida dan sodium hidroksida.
Gejala Infeksi HIV/ AIDS
Infeksi akut: flu selama 3-6 minggu setelah infeksi, panas dan rasa lemah selama 1-2 minggu. Bisa disertai ataupun tidak gejala-gejala seperti:bisul dengan bercak kemerahan (biasanya pada tubuh bagian atas) dan tidak gatal. Sakit kepala, sakit pada otot-otot, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar, diare (mencret), mual-mual, maupun muntah-muntah.
Infeksi kronik: tidak menunjukkan gejala. Mulai 3-6 minggu setelah infeksi sampai 10 tahun. Sistem imun berangsur-angsur turun, sampai sel T CD4 turun dibawah 200/ml dan penderita masuk dalam fase AIDS.
AIDS merupakan kumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV. Gejala yang tampak tergantung jenis infeksi yang menyertainya. Gejala-gejala AIDS diantaranya: selalu merasa lelah, pembengkakan kelenjar pada leher atau lipatan paha, panas yang berlangsung lebih dari 10 hari, keringat malam, penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya, bercak keunguan pada kulit yang tidak hilang-hilang, pernafasan pendek, diare berat yang berlangsung lama, infeksi jamur (candida) pada mulut, tenggorokan, atau vagina dan mudah memar/perdarahan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
Stadium Infeksi (AIDS Council of NSW)
• Stadium 1 Infeksi primer: Bila penderita mengalami infeksi untuk pertama kali dengan keluhan “seperti flu”.
• Stadium 2 Kelainan tanpa gejala: Penderita tetap merasa sehat, hal ini dapat berlangsung sampai beberapa tahun.
• Stadium 3 Kelainan dengan gejala-gejala: Penderita mengalami gejala-gejala ringan seperti rasa lelah, keringat malam, dll.
• Stadium 4 Kelainan berat: Penderita mengalami gejala-gejala yang lebih berat oleh karena daya tahan tubuh yang menurun (AIDS, Aquired Immunodeficiency Syndroms).
Stadium Infeksi (WHO)
• Stadium I
Tanpa gejala; Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh yang menetap.
Tingkat aktivitas 1: tanpa gejala, aktivitas normal.
• Stadium II
Kehilangan berat badan, kurang dari 10%; Gejala pada mukosa dan kulit yang ringan (dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku, perlukaan pada mukosa mulut yang sering kambuh, radang pada sudut bibir); Herpes zoster terjadi dalam 5 tahun terakhir; ISPA (infeksi saluran nafas bagian atas) yang berulang, misalnya sinusitis karena infeksi bakteri.
Tingkat aktivitas 2: dengan gejala, aktivitas normal.
• Stadium III
Penurunan berat badan lebih dari 10%; Diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan; Demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan; Candidiasis pada mulut; Bercak putih pada mulut berambut; TB paru dalam 1 tahun terakhir; Infeksi bakteri yang berat, misalnya: pneumonia, bisul pada otot. Tingkat aktivitas 3: terbaring di tempat tidur, kurang dari 15 hari dalam satu bulan terakhir.
• Stadium IV
Kehilangan berat badan lebih dari 10% ditambah salah satu dari : diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan. Kelemahan kronik dan demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan.
1) Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
2) Toksoplasmosis pada otak.
3) Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
4) Kriptokokosis di luar paru.
5) Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa dan kelenjar getah bening.
6) Infeksi virus Herpes simpleks pada kulit atau mukosa lebih dari 1 bulan atau dalam rongga perut tanpa memperhatikan lamanya.
7) PML(progressivemultifocalencephalopathy) atau infeksi virus dalam otak.
8) Setiap infeksi jamur yang menyeluruh, misalnya:histoplasmosis,kokidioidomikosis.
9) Candidiasis pada kerongkongan, tenggorokan, saluran paru dan paru.
10) Mikobakteriosis tidak spesifik yang menyeluruh.
11) Septikemia salmonela bukan tifoid.
12) TB di luar paru.
13) Limfoma.
14) Kaposi’s sarkoma.
15) Ensefalopati HIV sesuai definisi CDC.
Tingkat aktivitas 4: terbaring di tempat tidur, lebih dari 15 hari dalam 1 bulan terakhir.
Kelompok Resiko
Ditinjau dari cara penularannya, kelompok yang berpotensi terinfeksi HIV/ AIDS adalah pekerja seks komersial dengan pelanggannya, pramuria/ pramupijat, kaum homoseksual, penyalahguna narkoba suntik dan penerima darah atau produk darah yang berulang.
Dampak HIV/ AIDS
Dampak yang timbul akibat epidemi HIV/ AIDS dalam masyarakat adalah : menurunnya kualitas dan produktivitas SDM (usia produktif=84%); angka kematian tinggi dikarenakan penularan virus HIV/AIDS pada bayi, anak dan orang tua; serta adanya ketimpangan sosial karena stigmatisasi terhadap penderita HIV/ AIDS masih kuat.
Cara Penularan
HIV hanya bisa hidup dalam cairan tubuh seperti : darah, cairan air mani (semen), cairan vagina dan serviks, air susu ibu maupun cairan dalam otak. Sedangkan air kencing, air mata dan keringat yang mengandung virus dalam jumlah kecil tidak berpotensi menularkan HIV.
Cara penularan melalui hubungan seksual tanpa pengaman/kondom, jarum suntik yang digunakan bersama-sama, tusukan jarum untuk tatto, transfusi darah dan hasil olahan darah, transplantasi organ, infeksi ibu hamil pada bayinya(sewaktu hamil, melahirkan maupun menyusui). HIV tidak ditularkan melalui tempat duduk WC, sentuhan langsung dengan penderita HIV (bersalaman, berpelukan), tidak juga melalui bersin, batuk, ludah ataupun ciuman bibir (French kissing), maupun melalui gigitan nyamuk atau kutu.
Cara Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan ditujukan kepada seseorang yang mempunyai perilaku beresiko, sehingga diharapkan pasangan seksual dapat melindungi dirinya sendiri maupun pasangannya. Adapun caranya adalah dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual (monogami), penggunaan kondom untuk mengurangi resiko penularan HIV secara oral dan vaginal. Pencegahan pada pengguna narkoba dapat dilakukan dengan cara menghindari penggunaan jarum suntik bersamaan dan jangan melakukan hubungan seksual pada saat high (lupa dengan hubungan seksual aman). Sedangkan pencegahan pada ibu hamil yaitu dengan mengkonsumsi obat anti HIV selama hamil (untuk menurunkan resiko penularan pada bayi) dan pemberian susu formula pada bayi bila ibu terinfeksi HIV. Serta menghindari darah penderita HIV mengenai luka pada kulit, mulut ataupun mata.
Prosedur diagnostik
1. Tes antibodi hiv
a. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), untk mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus HIV. Tes ELISA tidak menegakkan diagnosis penyakit AIDS tetapi lebih menunjukkan bahwa seseorang pernah terkena atau terinfeksi oleh virus HIV.
b. Western Blot Assay, merupakan tes yang dapat mengenali antibody HIV dan digunakan untuk memastikan seroposivitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur ELISA.
c. Indirect Immunofluorescence Assay (IFA), digunakan sebagai pengganti pemeriksaan Western Blot untuk memastikan seropotivitas.
d. Radio Immunoprecipitation Assay (RIPA).
2. Pelacakan HIV
a. Antigen p24, sangat spesifik untuk HIV-1. Pemeriksaan p24 antigen capture assay telah digunakan bersama tes lainnya untuk mengevaluasi efek terapi dari preparat antivirus.
b. Reaksi rantai Polimerase (PCR; polymerase chain reaction), dipakai untuk mendeteksi RNA virus HIV atau DNA provirus
c. Kultur sel Mononuklear darah perifer untuk HIV-1
d. Kultur sel kuantitatif
e. Kultur plasma kuantitatif
f. Mikroglobulin B2
g. Neopterin serum
3. Pemeriksaan status imun
a. Sel-sel CD4, hasilnya pada penderita HIV = menurun
b. Persentase sel-sel CD4, hasilnya pada penderita HIV = menurun
c. Rasio CD4:CD8, hasilnya pada penderita HIV = rasionya menurun
d. Hitung sel darah putih, hasilnya pada penderita HIV = normal hingga menurun
e. Kadar immunoglobulin, hasilnya pada penderita HIV = meningkat
f. Tes fungsi sel CD4, hasilnya pada penderita HIV = sel-sel T4 mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen
g. Reaksi sensitivitas pada tes kulit, hasilnya pada penderita HIV = menurun hingga tidak terdapat sama sekali
Pemeriksaan HIV/ AIDS
Pemeriksaan sedini mungkin untuk mengetahui infeksi HIV sangat membantu dalam pencegahan dan pengobatan yang lebih lanjut. Tes HIV untuk yang beresiko dilakukan setiap 6 bulan, selain itu pencegahan dapat mengurangi faktor resiko. Apabila sudah terdiagnosis infeksi HIV dilakukan dengan dua cara pemeriksaan antibodi yaitu ELISA dan Western blot. Tes Western blot dilakukan di negara-negara maju, sedangkan untuk negara berkembang dinjurkan oleh WHO pemeriksaan menggunakan tes ELISA yang dilakukan 2-3 kali.
Beberapa kelemahan dan keunggulan tes pemeriksaan infeksi HIV:
1. Tes Elisa
• Keuntungan: murah, efisien, cocok untuk testing dalam jumlah besar, dapat mendeteksi HIV-1, HIV-2 dan varian HIV, cocok dalam surveilans dan pelayanan transfuse darah terpusat.
• Kelemahan : butuh staf dan tehnisi laboratorium yang terampil dan terlatih, peralatan canggih, sumber listrik konstan, waktu yang cukup.
2. Tes Sederhana/Cepat
• Keuntungan : hasil cepat, menggunakan sampel darah lengkap (whole blood), tidak butuh peralatan khusus, sederhana, dapat dikerjakan oleh staf dengan pelatihan terbatas, tidak perlu listrik, dapat dipindah-pindahkan dan fleksibel, hasil mudah dibaca, punya kontrol internal sehingga hasil akurat, rancangan tes tunggal untuk spesimen terbatas.
• Kelemahan: lebih mahal dari tes ELISA, butuh mesin pendingin (2o C dan 30 o C), meningkatkan potensi testing wajib, pemberitahuan hasil tes tidak terpikirkan implikasinya.
3. Tes Air Liur dan Air Kencing
• Keuntungan: prosedur pengumpulan lebih sederhana, cocok untuk orang yang menolak memberikan darah, menurunkan resiko kerja, lebih aman (karena mengandung sedikit virus).
• Kelemahan : harus mengikuti prosedur testing yang spesifik dan hati-hati; berpotensi untuk testing mandatory; mendorong timbulnya mitos penularan HIV lewat ciuman; belum banyak dievaluasi di lapangan.
4. Tes Konfirmasi (Western blot)
• Keuntungan : untuk memastikan suatu hasil positif dari tes pertama.
• Kelemahan : mahal, membutuhkan peralatan khusus, pemeriksa harus terlatih.
5. Antigen Virus
• Keuntungan : mengetahui infeksi dini HIV, skrinning darah, mendiagnosis infeksi bayi baru lahir, memonitor pengobatan dengan ARV.
• Kelemahan : kurang sensitif untuk tes darah.
6. VCT (Voluntary Counseling And Testing)
• Kelemahan : perlu pelayanan konseling yang efektif; konselor perlu disupervisi; konselor terkadang perlu konseling.
Pengobatan HIV/ AIDS
Pengobatan HIV/ AIDS yang sudah ada kini adalah dengan pengobatan ARV (antiretroviral) dan obat-obat baru lainnya masih dalam tahap penelitian.
Jenis obat-obat antiretroviral :
1. Attachment inhibitors (mencegah perlekatan virus pada sel host) dan fusion inhibitors (mencegah fusi membran luar virus dengan membran sel hos). Obat ini adalah obat baru yang sedang diteliti pada manusia.
2. Reverse transcriptase inhibitors atau RTI, mencegah salinan RNA virus ke dalam DNA sel hos. Beberapa obat-obatan yang dipergunakan saat ini adalah golongan Nukes danNon-Nukes.
3. Integrase inhibitors, menghalangi kerja enzim integrase yang berfungsi menyambung potongan-potongan DNA untuk membentuk virus. Penelitian obat ini pada manusia dimulai tahun 2001 (S-1360).
4. Protease inhibitors (PIs), menghalangi enzim protease yang berfungsi memotong DNA menjadi potongan-potongan yang tepat. Golongan obat ini sekarang telah beredar di pasaran (Saquinavir, Ritonavir, Lopinavir, dll.).
5. Immune stimulators (perangsang imunitas) tubuh melalui kurir (messenger) kimia, termasuk interleukin-2 (IL-2), Reticulose, HRG214. Obat ini masih dalam penelitian tahap lanjut pada manusia.
6. Obat antisense, merupakan “bayangan cermin” kode genetik HIV yang mengikat pada virus untuk mencegah fungsinya (HGTV43). Obat ini masih dalam percobaan.
Perawatan dan Dukungan
Perawatan dan dukungan untuk ODHA (orang dengan HIV/ AIDS) sangat penting sekali. Hal tersebut dapat menimbulkan percaya diri/ tidak minder dalam pergaulan. ODHA sangat memerlukan teman untuk memberikan motivasi hidup dalam menjalani kehidupannya. HIV/ AIDS memang belum bisa diobati, tetapi orang yang mengidap HIV/ AIDS dapat hidup lebih lama menjadi apa yang mereka inginkan.
Kiat Hidup Sehat Dengan HIV/AIDS
1. Makan makanan bergizi.
2. Tetap lakukan kegiatan dan bekerja/ beraktivitas.
3. Istirahat cukup.Sayangilah diri sendiri.
4. Temuilah teman/ saudara sesering mungkin.
5. Temui dokter bila ada masalah/ keluhan.
6. Berusaha untuk menghindari infeksi lain, penggunaan obat-obat tanpe resep dan hindari mengurung diri sendiri.
Perawatan di rumah (home care)
1. Melakukan pendidikan pada odha dan keluarga tentang pengertian, cara penularan, pencegahan, gejala-gejala, penanganan hiv/ aids, pemberian perawatan, pencarian bantuan dan motivasi hidup.
2. Mengajar keluarga ODHA tentang bertanya dan mendengarkan, memberikan informasi dan mendiskusikan, mengevaluasi pemahaman, mendengar dan menjawab pertanyaan, menunjukkan cara melakukan sesuatu dengan benar dan mandiri serta pemecahan masalah.
3. Mencegah penularan HIV di rumah dengan cara cuci tangan, menjaga kain sprei dan baju tetap bersih, jangan berbagi barang-barang tajam.
4. Menghindari infeksi lain seperti dengan cuci tangan, menggunakan air bersih dan matang untuk konsumsi, jangan meludah sembarang tempat, tutup mulut/ hidung saat batuk/ bersin, buanglah sampah pada tempatnya.
5. Menghindari malaria dengan menggunakan kelambu saat tidur dan penggunaan obat nyamuk.
6. Merawat anak-anak dengan HIV/ AIDS, yaitu dengan memberikan makanan terbaik (ASI), memberikan imunisasi, pengobatan apabila si kecil sudah terinfeksi, serta memperlakukan anak secara normal.
7. Mengenal dan mengelola gejala yang timbul pada ODHA. Gejala-gejalanya seperti demam, diare, masalah kulit, timbul bercak putih pada mulut dan tenggorokan, mual dan muntah,nyeri, kelelahan dan kecemasan serta kecemasan dan depresi.
8. Perawatan paliatif (untuk memberikan perasaan nyaman dan menghindari keresahan, membantu belajar mandiri, menghibur saat sedih,membangun motivasi diri).















B. Kasus
Ny. A (23) berobat ke RS AC dengan keluhan panas yang tidak turun-turun, diare berat sudah 1 (satu) bulan, dan BB menurun sejak 2 bulan yang lalu. Klien menderita batuk yang menetap sudah 1(satu) tahun. Dari riwayat didapatkan bahwa ia dijual oleh suaminya yang berkebangsaan Thailand untuk dijadikan PSK antar negara. Berbagai pemeriksaan sudah dilakukan dan pasien diduga menderita AIDS. Pemeriksaan yang dilakukan:
ELISA: +
Penilaian
Sel T4+ : 150
CD4: 900
Leukosit: 4000
Hasil pemeriksaan saat ini didapatkan klien mengeluh sesak nafas dan batuk sehingga terpasang oksigen 2 L/mnt dan aktivitas hanya terbaring lemah diatas tempat tidur. Hasil foto Thoraks didapatkan penumpukan secret pada kedua lapang paru.
Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
 Panas yang tidak turun-turun
 Diare berat sudah 1 bulan
 Batuk menetap sudah 1 tahun
 Klien mengeluh sesak nafas dan batuk, terpasang oksigen 2 L/mnt
 Aktivitas hanya terbaring lemah diatas tempat tidur.
2. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Perawat perlu menanyakan dan mengkaji penyakit apa yang pernah diderita oleh klien sebelumnya. Apakah klien memiliki riwayat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang positif mengidap HIV/AIDS, pasangan seksual multiple, aktivitas seksual yang tidak terlindung, seks anal, homoseksual, penggunaan kondom yang tidak konsisten, menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan terhadap virus pada wanita yang terpajan karena peningkatan kekeringan/friabilitas vagina), pemakai obat-obatan IV dengan jarum suntik yang bergantian, riwayat menjalani transfusi darah berulang, dan mengidap penyakit defesiensi imun.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perawat harus mengkaji apakah klien memiliki keluarga yang menderita penyakit keturunan.
Pemeriksaan Fisik
1. Otot
Massa otot menurun, terjadi respon fisiologis terhadap aktivitas seperti perubahan pada tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan pernafasan. Pembengkakan sendi, nyeri tekan, penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan/pincang, gerak otot melindungi yang sakit. Penurunan kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya berjalan.
2. Jantung
Takikardi, perubahan tekanan darah postural, penurunan volume nadi perifer, pucat/sianosis, kapillary refill time meningkat.
3. Paru-Paru
Takipnea, distress pernafasan, perubahan bunyi nafas/bunyi nafas adventisius, batuk (mulai sedang sampai parah) produktif/nonproduktif, sputum kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum).
4. Kulit dan mulut
turgor kulit buruk; lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna; kurangnya kebersihan gigi, adanya gigi yang tanggal, edema.
5. Usus: Adanya bising usus hiperaktif
6. Neurosensori: Perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental sampai dimensia, lupa, konsentrasi buruk. kesadaran menurun, apatis, retardasi psikomotor/respon melambat.
Ide paranoid, ansietas berkembang bebas, harapan yang tidak realistis. Timbul refleks tidak normal, menurunnya kekuatan otot, gaya berjalan ataksia. Tremor pada motorik kasar/halus, menurunnya motorik fokalis, hemiparase, kejang. Hemoragi retina dan eksudat (renitis CMV).
7. Limfe: Timbulnya nodul-nodul, pelebaran kelenjar limfe pada dua/lebih area tubuh (leher, ketiak, paha)
8. Rektum: luka-luka perianal atau abses
9. Genitalia: Herpes, kutil atau rabas pada kulit genitalia
Pemeriksaan Labor
ELISA: +
Penilaian
Sel T4+ : 150
CD4: 900
Leukosit: 4000
Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dam manajemen kesehatan
Pada kasus ini klien dan keluarga tidak mengerti bahwa seks bebas dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya, seperti penyakit yang sedang diderita klien.
perawat perlu mengkaji bagaimana klien memandang penyakit yang dideritanya, apakah klien tau apa penyebab penyakitnya sekarang?
b. Pola nutrisi dan metabolic
Biasanya pada pasien terdapat bising usus hiperaktif; penurunan berat badan: parawakan kurus, menurunnya lemak subkutan/massa otot; turgor kulit buruk; lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih dan perubahan warna; kurangnya kebersihan gigi, adanya gigi yang tanggal; edema.
Pada kasus pasien ini mengalami penurunan BB sejak 2 bulan yang lalu.
c. Pola eliminasi
Biasanya pasien mengalami Diare intermitten, terus menerus dengan/tanpa nyeri tekan abdomen, lesi/abses rektal/perianal, feses encer dan/tanpa disertai mukus atau darah, diare pekat, perubahan jumlah, warna, dan karakteristik urine.
Pada kasus pasien ini sudah 1 bulan mengalami diare berat.
d. Pola latihan /aktivitas
Biasaya pada pasien HIV Massa otot menurun, terjadi respon fisiologis terhadap aktivitas seperti perubahan pada tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan pernafasan.
Pada kasus ini pasien hanya terbaring lemah diatas tempat tidurnya dan mengalami sesak nafas.
e. Pola istirahat tidur
Pasien diduga mengalami gangguan tidur dikarenakan klien mengalami sesak nafas dan batuk yang menetap.
f. Pola persepsi kognitif
Biasanya terjadi Perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental sampai dimensia, lupa, konsentrasi buruk, kesadaran menurun, apatis, retardasi psikomotor/respon melambat.
Ide paranoid, ansietas berkembang bebas, harapan yang tidak realistis.
Timbul refleks tidak normal, menurunnya kekuatan otot, gaya berjalan ataksia.
Tremor pada motorik kasar/halus, menurunnya motorik fokalis, hemiparase, kejang
Hemoragi retina dan eksudat (renitis CMV).
g. Pola persepsi diri
Biasanya pasien memiliki Perilaku menarik diri, mengingkari, depresi, ekspresi takut, perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis, kontak mata kurang, gagal menepati janji atau banyak janji.
h. Pola Koping dan toleransi stress
Biasanya pasien mengalami depresi dikarenakan penyakit yang dialaminya. Serta adanya tekanan yang datang dari lingkungannya.
i. Pola peran hubungan
Biasanya pasien mengalami Perubahan pada interaksi keluarga/orang terdekat, aktivitas yang tak terorganisasi, perobahan penyusunan tujuan.
j. Pola reproduksi seksual
Biasanya pasien mengalami Herpes, kutil atau rabas pada kulit genitalia.
k. Pola keyakinan
Pola keyakinan perlu dikaji oleh perawat terhadap klien agar kebutuhan spiritual klien data dipenuhi selama proses perawatan klien di RS. kaji apakah ada pantangan agama dalam proses pengobatan klien.
Termasuk stadium berapakah Ny. A tersebut? Jelaskan
Dilihat dari gejala dan hasil pemeriksaan Ny. A menderita penyakit HIV/AIDS stadium 3. Dimana pada stadium ini penderita mengalami penurunan berat badan sejak dua bulan yang lalu, diare kronik yang sudah dialami sejak 1 bulan lalu, batuk yang menetap selama 1 tahun kondisi ini dapat dikategorikan kedalam TB paru, penderita terbaring lemah ditempat tidur, serta hasil foto thoraks didapatkan penumpukkan secret pada kedua lapang paru.
Masalah keperawatan yang mungkin timbul sesuai dengan stadium
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2. Kekurangan volume cairan
3. Ketidakefektifan pola pernafasan
4. Gangguan harga diri
Diagnosa keperawatan yang utama
Diagnosa NOC NIC
1. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Domain 2: Nutrision
Class 1: Ingestion
Karakteristik
• Berat badan berkurang dari ideal
• Diare
• Lemahnya kesehatan otot
Faktor-faktor yang terkait
• Faktor biologi
• Factor Psikologi Defenisi:
Keadaan seseorang yang mengalami intake nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi proses metabolisme
Outcome yang disarankan
• Status nutrisi
• Status nutrisi: intake makanan dan cairan
• Status nutrisi: intake zat makanan
• Mengontrol berat badan
Tambahan outcome yang sejenis
• Eliminasi usus
• Pengetahuan: makanan
• Status nutrisi: energy Intervensi Keperawatan sebagai solusi masalah yang dianjurkan:
• Tahap-tahap makan
• Mengontrol ketidakteraturan makan
• Pengontrolan cairan
• Konsul menyusui
• pengontrolan nutrisi
• Terapi nutrisi
• Penyuluhan nutrisi
• Memantau nutrisi
• Terapi menelan
• Memantau tanda-tanda vital
• Bantuan penambahan berat badan
• Mengontrol berat badan
Tambahan pilihan Intervensi:
• Pengontrolan alergi
• Pemberian makanan botol
• Pengontrolan usus
• Pengontrolan demensia
• Pengontrolan energy
• Pemasukan saluran makanan
• Promosi latihan
• Intubasi gastrointestinal
• Pengontrolan hyperglycemia
• Perawatan bayi
• Penyisipan intravena (IV)
• Terapi intravena(IV)
• Memantau pengobatan
• Mengatur tujuan yang bermutu
• Perawatan saat kelahiran
• Phlebotomy: contoh daran vena
• Penempatan
• Penyerahan
• Mengajarkan: Individu
• Mengajarkan: Menentukan makanan
• Mengatur Total Parental Nutrition (TPN)
• Mempertahankan Venous Access Devices (VAD)

2. Kekurangan volume cairan
Defenisi : penurunan cairan intravaskuler intestinal dan atau intraseluler, contohnya dehidrasi, kehilangan cairan tanpa perubahan sodium.
Batasan karakteristik :
Kelelahan, kehilangan berat badan. Criteria hasil yang disarankan
1. Keseimbangan elektrolit dan asam basa
2. Keseimbangan cairan
3. Status nutrisi: intake makanan dan cairan
1. Keseimbangan elektrolit dan asam basa
Defenisi: keseimbangan dari elektrolit dan nonelektrolit dalam ruangan intrasel dan ekstrasel tubuh
Kriteria hasil:
• Serum sodium dalam batas normal
• Serum potasium dalam btas normal
• Serum klorida dalam batas normal
• Serum natrium dalam batas normal
• Serum kalium dalam batas normal
• Serum magnesium dalam batas normal
2. Keseimbangan cairan
Defenisi: keseimbangan cairan yang terdapat diruangan intrasel dan ekstrasel tubuh
Kriteria hasil:
• Keseimbangan intake dan output 24 jam
• Berat badan stabil
• Tidak ada rasa haus yang berlebihan
• Elektrolit serum dalam batas normal
• Hidrasi kulit tidak ada
3. Status nutrisi: intake makanan dan cairan
Defenisi: sejumlah makanan dan cairan yang masuk ketubuh 24 jam
Kriteria hasil:
• Intake makanan oral
• Intake cairan melalui oral
• Intake cairan
• Intake total nutrisi parenteral



- Pemantauan cairan elektrolit
Defenisi: pengumpulan dan analisis data pasien untuk regulate keseimbangan elektrolit
Aktifitas:
• Memonitor ketidak seimbangan asam basa
• Identifikasi kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit
• Memonitor kehilangan cairan dan dihubungkan dengan kehilangan elektrolit
• Konsultasi dengan dokter jika ada tanda dan gejala dari ketidakseimbangan cairan atau elektrolit
• Monitor serum dan osmolalitas urin
• Lengkapi nutrisi makanan dan cairan secara teratur
- Pengelolaan cairan
Aktifitas:
• Pantau berat badan biasanya dan kecendrungannya
• Mempertahankan intake dan output pasien
• Pantau ststus hidrasi
• Memonitor status hemodynamic termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP
• Pantau tanda-tanda vital pasien
• Pantau status nutrisi pasien
- Pemantauan nutrisi
Defenisi:
Aktifitas:
• Menetapkan interval berat badan pasien
Pantau kecendrungan dalam penurunan berat badan
Pantau albumin , protein, Hb, dan hematokrit
• Pantau limfosit dan kadar elektrolit
• Pantau pilihan makanan pasien
• Pantau intake kalori dan nutrisi



Jelaskan cara perawatan jenazah dengan HIV/AIDS
Merawat jenazah
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan, dengan menggunakan desinfektan dan di bawah air mengalir
2. Melapor kepada Kepala Ruangan/Tim Khusus Penanganan AIDS di rumah sakit bila terkena tusukan jarum bekas dipakai atau terkena percikan pada mata, mulut atau tangan yang luka
3. Memberi pelapis plastic pada bantal dan kasur sebagai pelindung sehingga mudah disuci dnegan detergen
4. Memasang label bertuliskan BAHAN MENULAR/HIV pada semua botol specimen yang akan dikirim ke laboratorium
5. Membersihkan kamar mandi/WC dan ruangan perawatan secara biasa
6. Memegang teguh rahasia jabatan

askep cedera kepala

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KIEN DENGAN CEDERA KEPALA
________________________________________
A. LANDASAN TEORITIS
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

B. ETIOLOGI
1. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

C. KLASIFIKASI
1. Menurut Jenis Cedera
a. Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas
2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
a. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang
- GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Kejang
c. Cedera kepala berat
- GCS 3-8 (koma)
- Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
- Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
- Tanda neurologist fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
3. Menurut morfologi
a. Fraktur tengkorak : kranium : linear / stelatum; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.
Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
b. Lesi intracranial : fokal: epidural, subdural, intraserebral
difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus

Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
a. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55%)
b. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
c. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :
- Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang tengkorak.
- Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema cerebra.

D. Glasgow Coma Seale (GCS)
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.
Skala GCS :
Membuka mata :
Spontan 4
Dengan perintah 3
Dengan Nyeri 2
Tidak berespon 1
Motorik :
Dengan Perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik area yang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak berespon 1
Verbal :
Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tidak tepat 3
Suara tidak dapat dimengerti 2
Tidak ada respons 1

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN DIAGNOSTIC
1. CT Scan : tanpa / dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.

PEDOMAN RESUSITASI DAN PENILAIAN AWAL
a. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn memasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
b. Menilai pernafasan ; tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 yg adekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi
c. Menilai sirkulasi ; otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dan dpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin 15mg/kgBB
e. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
f. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7 normal
g. Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :
- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri
- Lakukan pemeriksaan ; Ht,periksa darah perifer lengkap,trombosit, kimia darah
- Lakukan CT scan
h. Pasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi adanya :
- Hematoma epidural
- Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema cerebri
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium
i. Pada pasien yg koma ( skor GCS < 8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasi lakukan: - Elevasi kepala 30 - Hiperventilasi - Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I - Pasang kateter foley - Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural besar,hematom sub dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1 diplo)

H. KOMPLIKASI
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.

Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.

Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama.

Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative
10. Edema serebral & herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial & menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral & menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal
11. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).

I. WOC

ASUHAN KEPERAWATAN
________________________________________
A. Pengkajian
1. Identitas Kilen
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Pekerjaan :
Agama :
No RM :
Tanggal Masuk :
Data pelengkap lain yang di anggap perlu.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan Dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit sistem persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik / pernafasan Cardiovaskuler dan metabolik
b. Riwayat kesehatan Sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bisa beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.
c. Riwayat kesehatan Keluarga
Adanya riwayat Penyakit genetik.

3. Fungsional Gordon
a. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan
Dikaji bagaimana keyakinan klien akan kesembuhan penyakitnya.
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
Dikaji bagaimana asupan nutrisi dan pola makan klien, serta nafsu makan klien.
c. Pola Eliminasi
Dikaji bagaimana pola BAB dan BAK klien selama di lakukan perawatan.
d. Pola Istirahat dan Tidur
Dikaji bagaimana tidur dan istirahat klien selama perawatan.
Menyangkut kualitas dan kuantitas tidur dan istirahat dari klien.
e. Pola Aktivitas dan Latihan
Dikaji bagaimana aktivitas dan latihan selama perawatan. Dikaji bagaimana mobilisasi klien.
f. Pola Kognitif dan Persepsi diri
Dikaji bagaimana kesadaran dan fungsi indera klien selama perawatan.
g. Pola Persepsi dan Konsep diri
Dikaji bagaimana emosi klien selama perawatan.
h. Pola peran dan Hubungan
Kaji bagaimana peran klien dalam keluarga
i. Pola seksualitas dan reproduksi
Kaji bagaimana tingkat seksualitas dan reproduksi klien.
j. Pola koping stres
Dikaji bagaimana klien mentoleran stress yang timbul slama perawatan.
k. Pola keyakinan
Mengkaji bagaimana pandangan dari agama klien terhadap penyakit yg dideritanya.

4. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

B. Diagnosa
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

C. Rumusan Kriteria Hasil & Intervensi
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil : Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi :
a. Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
b. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
c. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
d. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
e. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
f. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
g. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
h. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
i. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
j. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
k. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan : Mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi : bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
b. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
d. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
e. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
f. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
g. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
h. Lakukan ronsen thoraks ulang.
i. Berikan oksigen.
j. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi : Mencapai penyembuhan luka tepat waktu

Intervensi
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
d. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi
4.
D.

askep amputasi-melatikalimantan

Keperawatan dewasa ii
Asuhan Keperawatan pada Pasien post Amputasi ulkus diabetikum





OLEH:
Kelompok 9


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2011
Landasan teoritis Amputasi
A. Pengertian
Amputasi berasal dari bahasa latin “amputare”, amb yang berarti sekitar dan putare artinya memotong. Jadi amputasi adalah suatu tindakan pembedahan dengan memotong bagian tubuh. Amputasi juga bisa diartikan suatu keadaan ketiadaan sebagian atau seluruh anggota gerak atau menunjukkan suatu prosedur bedah.
Amputasi dikelompokkan atas dua kelompok yaitu amputasi kongenital dan amputasi bedah. Pada amputasi kongenital ketiadaan anggota gerak disebabakan gangguan oleh pembentukan organ yang dibawa sejak lahir, sedang amputasi bedah adalah prosedur pemotongan yang memotong tulang.
B. Prinsip Teknik Amputasi
Torniquet selalu digunakan kecuali jika terdapat insufisiensi arterial. Flap kulit dibuat sedemikian rupa sehingga panjang gabungan keseluruhan flap sama dengan 1,5 x lebar anggota gerak pada level amputasi. Sebagai suatu ketetapan, flap anterior dan posterior dengan panjang yang sama dipakai untuk amputasi pada anggota gerak atas dan amputasi transfemoral (above knee), untuk amputasi below knee falp posterior dibuat lebih panjang. Otot dipotong distal dari tempat pemotongan tulang, kelompok otot yang saling berhadapan kemudian dijahit diatas ujung tulang dan juga keperiosteum (myoplasty) sehingga memberikan kontrol otot yang lebih baik dan juga sirkulasi yang lebih baik.
Saraf dipotong proksimal dari tempat pemotongan tulang. Harus benar-benar diperhatikan agar ujung saraf yang terpotong tidak mendapatkan tekanan karena tumpuan berat badan. Tulang dipotong pada tempat yang telah ditentukan. Pada amputasi transtibial bagian depan tibia biasanya dibuat serong dan dikikir agar terbentuk tepi yang halus dan membulat. Fibula dipotong 3 cm lebih pendek. Pembuluh darah utama diikat, dan setiap sumber perdarahan diikat dengan baik. Pada closed amputation kulit dijahit tanpa tegangan, drain dipasang dan kemudian stump dibalut erat. Jika terbentuk hematoma, ini harus segera dievakuasi. Pembalutan berulang dengan pembalut elastis dilakukan untuk membantu pengerutan stump dan menciptakan bentuk ujung yang konikal. Otot-ortot harus tetap dilatih, sendi tetap dijaga agar bergerak dan pasien diajarkan untuk menggunakan prosthesisnya.
C. indikasi
Indikasi amputasi dikenal dengan 3D.
1. Dead (dying), penyakit pembuluh darah perifer bertanggung jawab terhadap hampir 90% dari seluruh amputasi. Penyebab lainnya adalah trauma parah, luka bakar, dan frost bite.
2. Dangerous, penyakit yang tergolong berbahaya adalah tumor ganas, sepsis yang potensial lethal dan crush injury. Pada crush injury pelepasan torniquet atau penekanan lain akan berakibat pada kegagalan ginjal (crush syndrome).
3. Damn nulsance, adalah keadaan dimana mempertahankan anggota gerak dapat lebih buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak sama sekali. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh nyeri, malformasi berat, sepsis berulang atau kehilangan fungsi yang berat. Kombinasi antara deformitaas dan kehilangan sensasi khususnya merupakan masalah yang berat dan pada alat gerak bawah cenderung untuk menyebabkan ulserasi karena tekanan.
Indikasi lain dilaksanakannya bedah amputasi adalah karena:
1. Iskemia karena penyakit reskularisasi perifer, biasanya pada orang tua, seperti klien dengan artherosklerosis, Diabetes Mellitus.
2. Trauma amputasi, bisa diakibatkan karena perang, kecelakaan, thermal injury seperti terbakar, tumor, infeksi, gangguan metabolisme seperti pagets disease dan kelainan kongenital.
D. Tingkatan Amputasi
1. Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.
2. Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya. Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu :
a) Amputasi dibawah lutut (below knee amputation). Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan inschemic limb.
b) Amputasi diatas lutut. Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer.
3. Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.
4. Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
5. Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehingga melengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam otot.
6. Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan, stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
E. Penatalaksanaan Amputasi
Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi. Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu :
1. Rigid dressing.
Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri dan mempercepat posisi berdiri.
Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah 7 – 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 – 3 minggu, setelah stump sembuh dan mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia, kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 post operasi untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.
2. Soft dressing.
Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup. Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas lutut, penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
F. Dampak Masalah Terhadap Sistem Tubuh.
Adapun pengaruhnya meliputi :
1. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema.Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
3. Sistem respirasi
a) Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
b) Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.
c) Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris normal.
4. Sistem Kardiovaskuler
a) Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
b) Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.
c) Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
5. Sistem Muskuloskeletal
a) Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.
b) Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.
c) Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak.
d) Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.
6. Sistem Pencernaan
a) Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.
b) Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar.
7. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan :
• Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.
• Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK.
8. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.

Kasus pasien amputasi karena Ulkus Diabetik
Ny. A (55 th) masuk RS.BMC pada tanggal 1 Maret 2011, dengan keluhan luka pada telapak kaki kanan yang tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengatakan luka itu timbul karena tusukan paku yang tidak disadarinya. Akhirnya luka yang ditimbulkan oleh tusukan paku itu makin lama makin membesar. Ny. A menggunakan sejenis daun-daunan untuk mengobati lukanya, dia juga mengorek-ngorek luka tersebut, dan akhirnya luka itu semakin parah. Di Rumah sakit dokter menyarankan agar Ny. A melakukan amputasi pada kaki sebelah kanannya, karena ulkus pada kaki pasien sudah membusuk, dan saraf di sekitar telapak kaki kanan juga tidak berfungsi lagi. Pengkajian yang dilakukan sebelum pasien diamputasi didapatkan data subjektif bahwa klien tidak bias tidur karena gelisah dan takut akan menjalani amputasi. Klien juga mengeluh tidak nafsu makan, dan BB klien turun.
Pengkajian yang dilakukan oleh mahasiswa PSIK pada tanggal 27 Maret 2011 setelah Ny. A melakukan amputasi, pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan yang diamputasi,dan terlihat kemerahan disekitar bekas amputasi tersebut. Ny. A juga merasa malu dengan kondisinya saat ini, ia mengatakan bagaimana melaksanakan perannya dalam keluarga sementara ia telah kehilangan kaki kanannya.
Riwayat Kesehatan klien
1. Riwayat kesehatan sekarang
Ny. A mengeluh luka pada telapak kaki kanan yang tidak sembuh-sembuh sejak 1 bulan yang lalu.sebelum diamputasi Ny. A mengeluh tidak bisa tidur karena gelisah dan takut akan menjalani amputasi. Klien juga mengeluh tidak nafsu makan, dan BB klien turun.
Saat pengkajian setelah diamputasi, pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan yang diamputasi, , terlihat kemerahan disekitar bekas amputasi tersebut. Dan Ny. A juga merasa malu dengan kondisinya saat ini.

2. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah pasien pernah mengalami luka yang sama, dan kaji apakah pasien memiliki riwayat penyakit lain seperti kolesterol tinggi atau hipertensi.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga pasien yang menderita DM atau penyakit degenerative lainnya.

Pemeriksaan Fisik
Sistem Tubuh Kegiatan
Integumen:
• Kulit secara umum
• Lokasi amputasi Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi
Lokasi amputasi mungkin mengalami peradangan atau kondisi yang memburuk, perdarahan, atau kerusakan progresif.
Kaji kondisi jaringan diatas lokai amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan aliran balik vena
Kardiovaskuler
• Cardio reserve
• Pembuluh darah Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indicator fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan arteriosklerosis melalui penilaian terhadap elastisitas pembuluh darah
Respirasi Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas
Urin Mengkaji jumlah urin 24 jam
Mengkaji adanya perubahan warna, bau, dan kekentalan urin
Cairan dan elektrolit Mengkaji tingkat dehidrasi
Memonitor intake dan out put cairan
Neurologis Mengkaji tingkat kesadaran klien
Mengkaji sistem persarafan, khususnya sistem motorik dan sensorik daerah sekitar amputasi
muskuloskeletal Mengkaji bentuk dan kekuatan otot klien.


11 Pola Fungsional Gordon
• Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Klien terlihat kurang mengerti tentang penyakitnya, terbukti klien mengatakan lukanya timbul karena tusukan paku yang tidak disadarinya. Akhirnya luka yang ditimbulkan oleh tusukan paku itu makin lama makin membesar. Dan klien menggunakan sejenis daun-daunan untuk mengobati lukanya, dia juga mengorek-ngorek luka tersebut, dan akhirnya luka itu semakin parah. Disini terlihat kurangnya pengetahuan klien tentang hal apa yang harus dilakukan dan hal apa yang tidak boleh dilakukanya nya.
Jadi perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan pada klien bahwa teknik pengobatan apa yang dilakukan saat terjadi luka, untuk mencegah terjadinya dekubitus.
• Pola nutrisi dan metabolik
Setelah menjalani operasi, tidak digambarkan bagaimana input nutrisi klien, namun perawat harus mengkaji bagaimana masukan nutrisi klien, apakah klien masih merasa tidak nafsu makan? Kaji berapa jumlah cairan yang masuk pada Ny. E. Dan klien dianjurkan untuk mengkonsumsi protein untuk pertumbuhan sel baru.
• Pola eliminasi
Perawat perlu mengkaji bagaimana eliminasi klien pasca operasi, apakah mengalami gangguan, dan kaji frekuensi, warna, serta konsistensi BAB dan BAK klien. Apakah klien menggunakan alat bantu?
• Pola latihan- aktivitas
Klien tidak bisa melakukan aktivitasnya sendiri karena kaki klien telah di amputasi, dan sering kali klien mengeluh nyeri pada bekas operasinya dan nyeri tersebut mengganggu aktivitas klien dalam bergerak.
• Pola istirahat tidur
Klien menyatakan pola istirahat dan tidurnya terganggu karena merasakan nyeri pada bekas operasinya, dank lien merasa gelisah saat tidur.
• Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien merasa malu dengan keadaannya saat ini, malu pada masyarakat sekitar, karena kaki sebelah kanannya sudah tidak ada,klien takut di ejek dengan keadaannya saat ini, kadang kala klien merasa akan kehilangan kasih sayang dari keluarga.
• Pola kognitif- perseptual
Perawat perlu mengkaji bagaimana kondisi alat indra klien?apakah mengalami gangguan, dan kaji status neurologis klien pasca operasi.
• Pola peran dan hubungan
Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga nya setelah menjalani operasi? apakah ada perubahan peran? Klien merasa malu dengan kondisi nya saat ini.
• Pola reproduksi- seksual
Kaji bagaimana aktivitas seksual klien dengan pasangannya? Apakah ada perubahan? Biasanya pada pasien DM mengalami gangguan seksulitas, seperti impotensi
• Pola pertahanan diri dan toleransi stres
Klien merasa stres karena belum siap menerima kenyataan kehilangan satu kakinya. Klien terus bertanya apakah nanti klien akan dihindari oleh orang lain? Klien terlihat stres.
• Pola keyakinan dan nilai
Kaji bagaimana ibadah klien pasca operasi, apakah klien masih menjalani ibadahnya seperti biasa?

Diagnosa keperawatan
NANDA NOC NIC
1. resiko infeksi hal 307 (ulkus diabetikus)
domain 11: keselamatan / perlindungan
kelas 1: infeksi
definisi: meningkatnya risiko karena diserang oleh organisme patogen
faktor risiko
 penyakit kronis
 kekebalan yang diperoleh tidak memadai
 ketidakadekuatan pertahanan primer (cth: kulit yang rusak, trauma jaringan, penurunan gerak silia, cairan tubuh yang stasis, perubahan sekresi pH, perubahan gerak peristaltic)
 ketidakadekuatan pertahanan sekunder (cth: penurunan Hb, leucopenia, penekanan respon inflamatori)
 peningkatan paparan lingkungan terhadap pathogen
 prosedur invasive
 ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari paparan pathogen
 agen farmasetik (cth: imunosupresi)
 trauma
 kerusakan jaringan Hasil yang disarankan:
• Integritas diameter jalan masuk.
• Konsekuensi keadaan yang tak bergerak : Fisiologi
• Pengetahuan : Kontrol infeksi
• Status nutrisi
• Kontrol resiko
• Deteksi resiko
• Integritas jaringan : Kulit dan selaput lendir

• Kebiasaan pengobatan : Sakit atau luka
• Penyembuhan luka: Tujuan utama
• Penyembuhan luka: Tujuan kedua
1. Kontrol infeksi
Definisi :Meminimalkan pendapatan dan transmisi dari infeksi.
Tindakan :
• Alokasikan dengan tepat kekakuan pasien dengan indikasi pedoman CDC.
• Bersihkan lingkungan sekitar setelah digunakan pasien.
• Ganti peralatan pengobatan pasien setiap protocol/ pemeriksaan.
• Batasi jumlah pengunjung/pembezuk.
• Ajarkan pengunjung untuk mencuci tangan saat masuk dan meninggalkan kamar pasien.
• Gunakan sarung tangan sebagai pengaman yang umum.
• Gunakan sarung tangan yang bersih.
• Gosok kulit pasien dengan alat anti bakteri dengan tepat.
• Bersihkan dan siapkan tempat sebagai persiapan untuk prosedur infasi/pembedahan.
• Jaga lingkungan agar tetap steril selama insersi di tempat tidur.
• jaga kerahasiaan klien ketika melakukan pemeriksaan invasif
• Ganti peripheral IV dan balutan berdasarkan petunjuk CDC.
• Pastikan keadaan steril saat menangani IV.
• Pastikan teknik perawatan luka yang tepat.
• Tingkatkan pemasukkan nutrisi yang tepat.
• Tingkatkan pemasukan cairan yang tepat.
• Banyak istirahat.
• Lakukan terapi antibiotic yang tepat.
• Ajarkan pasien untuk memakan antibiotic sesuai resep.
• Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya pada tim kesehatan.
2. Perlindungan terhadap infeksi
Definisi: Pencegahan dan pendeteksian dini pada pasien yang beresiko infeksi.
Tindakan :
• Memeriksa sistem dan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi.
• Mengontrol mudahnya terserang infeksi.
• Mengontrol jumlah granulosit, WBC, dan hasil yang berbeda.
• Mengikuti pencegahan dengan neutropenic.
• Membatasi jumlah pengunjung/pembezuk.
• Membersihkan pengunjung dari penyakit yang dapat menular.
• Menjaga kebersihan pasien yang beresiko.
• Melakukan teknik isolasi.
• Memberikan perawatan kulit yang tepat pada daerah edema.
• Melihat kondisi kulit dan membrane mukosa yang memerah, hangat dan mengelupas.
• Melihat kondisi luka bedah.
• Mendapatkan pemeliharaan sesuai kebutuhan.
• Meningkatkan kebutuhan nutrisi yang cukup.
• Mendorong pemasukan cairan.
• Meningkatkan istirahat.
• Mendorong pernafasan dalam saat batuk.
• Menginstruksikan pasien menggunakan antibiotic sesuai resep.

2. Intoleransi aktivitas
Domain 4: Aktivitas/istirahat
Kelas 4: respon kardiovaskuler/ respon pulmonary
Defenisi: energi fisiologis atau psikologis cukup untuk bertahan atau menyelesaikan kegiatan sehari-hari yang diperlukan atau yang diinginkan.
Batasan karakteristik
• Respon abnormal tekanan darah terhadap aktivitas
• Respon abnormal laju jantung terhadap aktivitas
• Aritmia
• Ketidaknyamanan
• Laporan verbal terhadap kelelahan
• Laporan verbal terhadap weakness
Outcome yang disarankan
• Toleransi aktivitas
• Daya tahan
• Konservari energy
• Perawatan diri: Aktivitas sehari-hari
• Perawatan diri: peralatan dalam aktivitas sehari-hari
1. Terapi aktivitas
 Kolaborasi dengan ahli terapi dalam rencana dan memonitor aktivitas, sesuai kebutuhan.
 Menentukan komitmen pasien untuk meningkatkan frekuensi dan rentang aktivitas
 Membentu untuk mengeksplorasi makna pribadi kegiatan yang dilakukan atau kegiatan yang favorit
 Membantu memilih aktivitas yang konsisten dengan fisik, psikologis, dan kebutuhan.
 Membantu pasien untuk focus terhadap apa yang dilakukan
 Membantu pasien untuk mengidentifikasi preferensi untuk aktifitas
 Membantu pasien untuk mengidentifikasi meaningfull/kegunaan/arti aktivitas
 Intruksikan pasien/keluarga tentang bagaimana melakukan aktivitas
 Membantu pasien untuk beradaptasi dengan lingkungan
2. Manajemen energi
 Menentukan batas kemampuan pasien
 Menentukan tingkat persepsi pasien terhadap kelelahan
 Menentukan penyebab kelelahan
 Memonitor intake nutrisi yang adekuat
 Memonitor kepatenan tidur pasien
 Monitor lokasi ketidaknyamanan dan nyeri yang terjadi saat bergerak
 Berikan lingkungan yang relaks
 Atur waktu/periode tidur dan istirahat
 Rencanakan periode aktivitas untuk pasien
3. Gangguan citra diri
Domain 6:Persepsi/kognitif
Kelas 3:Citra tubuh
Definisi: Kebingungan dalam gambaran mental dari seseorang fisik diri.
Batasan karakteristik:
• Ketidaktauan tentang salah satu bagian tubuh
• Kebiasaan menghindari bagian tubuh
• Kebiasaan memantau bagian tubuh
• Respon nonverbal terhadap perubahan tubuh yang actual(contoh:bentuk,strukture dan fungsi)
• Respon nonverbal terhadap penerimaan perubahan tubuh(contoh bentuk,struktur dan fungsi)
• Menyembunyikan bagian tubuh tanpa disengaja
• Terlalu mengekspos bagian tubuh tanpa disengaja
• Tidak menyentuh bagian tubuh
• Tidak melihat bagian tubuh
• Menyembunyikan bagian tubuh
Faktor yang berhubungan:
• Surgery Outcome yang disarankan:
1. Adaptasi terhadap kemampuan fisik.
2. Penghargaan diri
 Peningkatan Citra Diri
Definisi: Meningkatkan persepsi pasien sadar dan tidak sadar dan sikap terhadap badannya.
Aktivitas:
1. Tentukan harapan gambaran diri pasien berdasarkan tahap perkembangan
2. Gunakan bimbingan antisipasi untuk mempersiapkan pasien terhadap perubahan tubuh yang dapa diprediksi
3. Pantau apakah pasien bisa melihat perubahan bagian tubuh
4. Monitor frekuensi stattment diri yang kritis
5. Identifikasi budaya pasien,agama,jenis kelamin dan umur.


4. Nyeri akut
domain 12: kenyamanan
kelas 1: kenyamanan fisik
defenisi: sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh kerusakan jaringan potensial atau actual/ gambaran pada bagian yang rusak tersebut. Tiba-tiba/ memperlambat intensitas dari ringan sampai berat dengan akhir diantisipasi/diprediksi berdurasi < 6 bulan.

batasan karakteristik
• Perubahan nafsu makan
• Perubahan tekanan darah
• Perubahan curah jantung
• Perubahan laju pernafasan
• Laporan verbal terhadap nyeri
• Prilaku ekspresif, seperti gelisah, merintih, meringis, kewaspadaan, lekas marah, mendesah
• Menjaga prilaku Outcome yang disarankan
1. Kontrol nyeri
Indicator :
• Mengakui faktor kausal
• Mengakui onset nyeri
• Menggunakan langkah-langkah pencegahan
• Menggunakan langkah-langkah bantuan non-analgesik
• Menggunakan analgesik yang tepat

2. Tingkat ketidaknyamanan
Manajemen Nyeri
• melakukan tidakan yang komprehensif mulai dari lokasi nyeri, karakteristik, durasi, frequensi, kualitas, intensitas, atau keratnya nyeri dan factor yang berhubungan.
• observasi isyarat ketidak nyamanan khususnya pada ketidak mamapuan mengkomunikasikan secara efektif.
• memberi perhatian perawatan analgesic pada pasien.
• menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk menyampaikan rasa sakit dan menyampaikan penerimaan dari respon pasien terhadap nyeri.
• mengeksplorasi pengetahuan pasien dan keyakinan tentang rasa sakit.
• mempertimbangkan pengaruh budaya pada respon nyeri.
• menentukan dampak dari pengalaman rasa sakit dari pengalaman nyeri pada kualitas hidup (tidur, nafsu makan, aktivitas, kognisi, mood, hubungan, kinerja kerja, dan tanggung jawab peran).
• memberi tahu pasien tentang hal-hal yang dapat memperburuk nyeri
• kaji pengalaman nyeri klien dan keluarga, baik nyeri kronik atau yang menyebabkan ketidaknyamanan.
• ajarkan prinsip manajemen nyeri
• ajarkan tentang metode farmakologis mengenai gambaran nyeri
• ajarkan penggunaan teknik non farmakologi, seperti relaksasi, terapi music, terapi bermain, terapi aktifitas, sebelum,sesudah,dan jika memungkinkan selama nyeri berlangsung,sebelum nyeri itu terjadi atau meningkat dan lama dengan gambaran nyeri lainnya.
Bantuan Kontrol analgesik pada pasien
1. Berkolaborasi dengan dokter,pasien dan anggota keluarga untuk memilih tipe obat bius yang digunakan.
2. ajarkan pasien dan keluarga untuk memonitor intensitas,kualitas,dan durasi nyeri.
3. Pastikan pasien tidak alergi terhadap analgesic yang diberikan.
4. Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana menggunakan perangkat PCA
5. bantu pasien dan keluarga untuk menghitung konsentrasi obat yang tepat untuk cairan, mengingat jumlah cairan yang dikirimkan per jam melalui perangkat PCA.